Mengenai Saya

SIDOARJO, JAWA TIMUR, Indonesia
Belajar Menjadi "Internal Jurnalism"

Senin, 23 Agustus 2010

TRANSFORMASI ATAU EVALUASI ?

TRANSFORMASI ATAU EVALUASI ?
Oleh : Nursidik

Sudah beberapa kali TELKOM melakukan transformasi organisasi, namun selama itu pula tak pernah dilakukan evaluasi. Yang dilakukan hanyalah transformasi semata. Jika ada evaluasi terhadap transformasi yang pernah dilakukan, maka pasti tidak akan pernah terjadi transformasi secara menggebu-gebu, apalagi ditengah marak dan ketatnya persaingan yang justru di dalam disibukkan dengan sebuah kata yang katanya `sakti` yaitu transformasi.

Kalau memang `sakti`, lalu apa hasil `kesaktian` yang dilakukan dalam mentransformasi organisasi selama ini, mana evaluasinya ? Sudahkah organisasi yang telah ditransformasi menjadi lebih fleksibel sesuai tuntutan persaingan bisnis ? Kalau ini belum dievaluasi, rasanya lucu kalau melakukannya berulang-ulang, apalagi harus pegawai atau karyawan yang notabene adalah `Human Capital` dijadikan korban, sementara growth revenue menurun terus. Ini menunjukkan, bahwa Manajemen demam transformasi dan tidak fokus dalam mengelola perusahaan ini.

Menurut hemat Penulis, organisasi yang eksisting sekarang perlu dievaluasi, sebab ada beberapa unit yang tidak fleksibel. Ada seorang rekan bekerja di unit UNER yang ditempatkan di sebuah KANDATEL, ia dikejar dicecar target yang luar biasa, sementara ketika ia menanyakan tentang karirnya, maka dijawab, bahwa itu urusan HR yang ada di Jakarta ? Akibatnya, karir yang bersangkutan menjadi tidak jelas. Hal-hal yang tidak fleksibel inilah yang mestinya dievaluasi untuk dilakukan perbaikan, agar organisasi tidak kaku, bukan malah sebaliknya justru mendewakan TRANSFORMASI.

Contoh lagi yang perlu mendapat perhatian untuk dievaluasi, yaitu dalam konsep CBHRM ternyata meleset dari konsep yang ideal itu sendiri, sebab kenyataannya tak jarang karyawan yang memiliki kompetensi tinggi dan berprestasi dibidangnya, justru karirnya tidak jelas, sebaliknya yang diutamakan adalah basic pendidikan. Jadi jelas meleset dari konsep CBHRM itu sendiri. Lalu mana evaluasinya ? Pertanyaan ini terus mengalir dikalangan karyawan ujung tombak.

Haruskah Unit HR hanya tinggal diam, dalam arti `manut` saja terhadap kebijakan Manajemen, atau memang mendapat tekanan agar mengikuti maunya Manajemen ? Sedangkan Manajemen sendiri sebenarnya adalah `Pengusaha, bukan Penguasa`. Kalau demikian halnya yaitu menonjolkan `kekuasaannya` atau power semata, maka ini sudah tidak benar, sudah melenceng dan jelas perusahaan akan terus menerus terancam dalam kondisi bahaya, yaitu terus menurunnya kinerja bisnis. Dan yang paling bertanggung jawab adalah memang Manajemen, sebab merekalah yang mengelola `kapal besar` ini.

Sementara kita sama-sama tahu, bahwa Unit HR memiliki fungsi menangani berbagai masalah pada ruang lingkup karyawan atau pegawai dan tenaga kerja lainnya untuk dapat menunjang aktifitas organisasi atau perusahaan demi mencapai tujuan yang telah ditentukan. Kalau salah dalam mengelola, pasti tujuan perusahaan tidak akan tercapai seperti sekarang ini yang kompetisinya sudah sangat luar biasa hebatnya. Semua pada mengeluh, bahwa Growth Revenue semakin decline, negatif alias minus.

Peran strategis SDM yang sekarang naik derajatnya menjadi Human Capital tidak boleh dibuat main-main seperti selama ini, apalagi ada yang dikorbankan, sehingga karirnya menjadi `mandeg`, ujung-ujungnya ialah karyawan tidak termotivasi, sebab tidak ada kejelasan karir yang memang sesuai dengan kompetensinya. Tadinya karyawan ini sangat giat bekerja dan berprestasi, akhirnya menjadi pesimis. Jika jumlah pegawai yang tidak termotivasi lumayan banyak, maka pada gilirannya kinerja perusahaan akan merosot seperti sekarang ini. Siapa yang bertanggung jawab, sekali lagi yang bertanggung jawab adalah Manajemen.

Karyawan sebenarnya tidak alergi terhadap kata `transformasi` sebab memang perlu. Tetapi mereka `menuntut` untuk dilakukan evaluasi, sisi mana yang lemah untuk diimprove, dan sisi mana yang sudah kuat untuk dipertahankan. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa transformasi organisasi senantiasa diawali oleh suatu kebutuhan yang berkaitan dengan tuntutan bisnis. Dan kita semua sadar, bahwa tujuan bisnis menjadi pedoman dalam pengelolaan organisasi, termasuk dalam transformasi. Tujuan bisnis yang selalu berkembang (namun tetap dalam koridor visi dan misi) memberi pengaruh dalam manajemen perusahaan. Satu diantaranya yaitu penyesuaian dalam struktur organisasi, yang menyesuaikan terhadap strategi yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan.

Perlu disadari, bahwa perubahan struktur organisasi dari bentuk lama ke bentuk baru memberikan dampak yang tidak hanya menyangkut pola struktur itu sendiri, tetapi juga keberbagai aspek lain seperti sistem, prosedur, budaya, manusia dan sebagainya. Hal ini ternyata luput dari perhatian pengelola organisasi yang terkadang hanya terpaku pada struktur dan sistem namun mengabaikan masalah kultur dan manusia. Nampaknya manajemen kurang peduli dan bangga dengan kata sakti `Transformasi`, apalagi jika merupakan hasil kerja konsultan luar negeri dengan biaya yang luar biasa mahal.

Pro dan kontra terhadap transformasi memang selalu ada, yang pro biasanya yang diuntungkan, sedangkan yang kontra adalah mereka yang dirugikan. Yang berpendidikan tinggi biasanya terus terbang tinggi, sementara yang pendidikannya pas-pasan meski kompetensi dan prestasinya tidak diragukan terus menjadi mandeg. Kembali lagi, banyak yang hilang motivasi, perusahaan jadi rugi.

Transformasi memang dapat disimpulkan sebagai suatu proses perubahan dari suatu kondisi ke kondisi lain untuk mencapai sesuatu yang lebih baik. Kalau tidak tercapai, maka transformasi itu gagal ini. Pertanyaan kunci dari Transformasi organisasi adalah `keberhasilannya`. Untuk menjawab apakah transformasi berhasil atau tidak (setelah melewati suatu kurun tertentu yang ditetapkan untuk periode transformasi) adalah melalui jawaban terhadap pertanyaan sebagai berikut :


1. Apakah perusahaan/organisasi tumbuh atau eksis?
2. Apakah pendapatan dan laba meningkat?
3. Apakah market share meningkat?
4. Apakah kepuasan konsumen/klien meningkat?
5. Apakah kepuasan mitra kerja meningkat?
6. Apakah kepuasan karyawan meningkat?
7. Apakah kepuasan shareholder meningkat?

Jika sebagian besar jawaban dari pertanyaan diatas adalah `ya` dapatlah dikatakan transformasi tersebut berhasil. Dan jika berhasil, tentu tak perlu ada transformasi lagi. Jika sebagian besar jawabannya adalah`tidak`, maka perlu dilakukan evaluasi menyeluruh tentang ketidakberhasilan transformasi tersebut. Setidaknya dapat ditentukan faktor kegagalan apakah berkaitan dengan tidak pasnya tujuan atau strategi kurang tepat, factor`people`, `leadership`, `timing`, sumber daya yang kurang mendukung atau program yang tidak sesuai. Penentuan faktor kegagalan ini akan menjadi modal untuk merancang manajemen transformasi lebih lanjut. Sebenarnya dari karyawan sendiri tidak ada `Aspect Resistant To Change!!!`

Nursidik/560653

Tidak ada komentar:

Posting Komentar