Mengenai Saya

SIDOARJO, JAWA TIMUR, Indonesia
Belajar Menjadi "Internal Jurnalism"

Sabtu, 16 Oktober 2010

Dari Merlion Park, Sentosa, Hingga Ke Orchad Road


TAHUN 2006

Dari Merlion Park, Sentosa, Hingga Ke Orchad Road
Memang kami bertiga, Nursidik, Sholichin dan Bambang Wied sebagai kontributor Intra Telkom benar-benar “di-service” dan dimanjakan selama dua hari semalam di Singapura oleh Travel Agent. Dengan berkendara Mobil Van Mercy dan sesekali naik Kereta BAWAH TANAH kami dibawa meluncur hampir ke semua titik tempat-tempat wisata menarik dan pusat perbelanjaan yang kerap dikunjungi turis mancanegara, apalagi saat ini adalah akhir tahun, banyak hotel yang sudah di booking, semua toko di Singapura mengadakan penjualan murah “Big-Sale”.
Uang berapa saja pasti habis dibelanjakan disini, apalagi di MUSTAFA CENTER yang beralamatkan di 145, Syed Alwi Road CA-00631 COD Singapore ini, sebab pusat souvenir yang dulunya hanya bukan 12 jam, kini buka 24 jam non stop setiap harinya. Harga barang murah dan kami belanja disini. Lalu jika sebelumnya Orchard Road yang selalu menjadi sentral kegiatan di Singapura, kini banyak yang beralih ke Clarke Quay. Setelah Pemerintah Singapura berkomitmen membersihkan sungai selama 10 tahun dan rampung tahun 1987, kawasan tepian sungai akhirnya dapat dimanfaatkan maksimal. Tapi Orchard Road masih tetap hidup, kamipun belanja sedikit disini.
Suasana di tepi Sungai Singapura kini makin semarak. Resto-resto diberi kanopi berwarna. Dari tempat duduk di restoran, Anda dapat menikmati kelap-kelip lampu gedung-gedung jangkung di seberang sungai, sambil meneguk “soft drink” dan menyantap hidangan laut ataupun pizza. Tentu saja Clarke Quay tidak hanya memanjakan perut Anda. Sebab, di kawasan ini Anda bisa menikmati tur perahu yang menjelajahi Sungai Singapura, dibuka sejak pagi hingga menjelang tengah malam. Di Merlion Park juga tak kalah mempesonanya, dengan keindahan patung Merlionnya.
BADAN Pariwisata Singapura atau Singapore Tourism Board (STB) merencanakan menciptakan kawasan sekitar Sungai Singapura tetap hidup selama 24 jam dan dapat dinikmati kaum yuppies Asia yang berkunjung ke sana. STB ingin kawasan tepi sungai menjadi menarik dikunjungi dan merupakan ikon tepi sungai di Asia, dengan perbandingan Darling Harbour di Sydney, Fisherman’s Wharf di San Fransisco, dan South Street Seaport di New York.
SELAIN menghidupkan daerah tepian sungai, Singapura memanfaatkan setiap lahan yang ada sebagai lokasi wisata. Singapura sadar betul bahwa mereka tak punya sumber daya alam. Yang ada adalah sumber daya manusia yang andal, yang mampu memutar otak agar wisatawan terus datang ke Singapura, berbelanja, makan dan minum, dan menikmati apa pun yang ada.
Salah satunya adalah kawasan pecinan atau Chinatown. Kami bertiga belanja disini, sebab harganyapun tak begitu mahal. Kawasan bersejarah ini dianggap “rumah” pertama komunitas China di Singapura. Status konservasi diberikan pada 7 Juli 1989. Bangunan dan lingkungan fisik diperbaiki. Daerah-daerah utama yang menjadi sentral aktivitas didata. Bangunan satu lantai dimanfaatkan sebagai toko atau tempat makan.
Kini Chinatown menjadi pusat aktivitas masyarakat China Singapura. Berbagai kegiatan seni dan budaya digelar di kawasan pecinan ini. Kios-kios suvenir dan pub berdiri di sini. Demikian halnya dengan bisnis tradisional China, seperti tempat penjualan porselen, tempat minum teh, dan tempat pengobatan, semua masih beroperasi.
Bukan hanya bangunan tua di pecinan yang dilestarikan dan menjadi aset wisata. Ada ribuan bangunan tua serupa yang diberikan status konservasi di Kampong Gelam, Little India, dan Boat Quay. Sedikitnya tercatat 5.000-an bangunan tua di Singapura yang mendapat status konservasi. Separuh dari jumlah itu direstorasi dan disulap menjadi kantor, toko, hotel, restoran, dan tempat tinggal. Bangunan-bangunan tua tersebut tetap dilestarikan, bersanding dengan gedung-gedung jangkung berarsitektur modern di jantung kota. Ini semua memberi warna unik identitas Singapura yang plural tetapi satu.
Di Kampong Gelam, identitas Melayu tetap bersinar. Restoran Melayu seperti milik Hj Maimunah selalu dipenuhi peminat, kami mencoba mencicipi masakan disini. Demikian juga di kawasan Little India dengan Mustafa Centre yang buka 24 jam, memikat wisatawan berbelanja barang dengan harga relatif murah. Semua lokasi wisata dapat dijangkau menggunakan transportasi MRT, bus, maupun taksi dengan mudah.
Demikianlah Singapura. Seakan tak ada satu tempat pun di sana yang dibiarkan menganggur dan tersia-sia. Apa pun bisa disulap menjadi tempat wisata yang menarik, yang mendatangkan uang, dan pada gilirannya menyejahterakan masyarakat setempat. Melihat Singapura mampu menyulap daerah kumuh dan kotor menjadi destinasi wisata, kita pun bertanya-tanya mengapa kota-kota di Indonesia hingga kini belum mampu melakukan hal serupa. Kawasan Pecinan di beberapa daerah Indonesia, misalnya, seharusnya dapat meniru konsep Singapura sehingga dapat menjadi daya tarik kota. **NURSIDIK**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar