TAHUN 1005
Restrukturisasi Organisasi Berita Terhangat 2005
TERHANGAT.
Dari seluruh berita hangat sepanjang tahun 2005, rupanya ternyata yang terhangat adalah Berita tentang Rencana Restrukrusisasi Organisasi, bahkan masih menghangati tahun baru 2006 ini sehangat selimut eskimo. Terbukti ketika isu ini dilempar mendapat berbagai tanggapan dari karyawan tanpa surut. Berita ini memang benar-benar menggelegar dahsyat, betapa tidak sebab baru saja masalah CBHRM berlalu dan nyaris tak terdengar gaungnya, kini ada lagi dan membuat trauma sebagian karyawan muncul kembali.
POSKO SEKAR yang sering mendapat pengaduan karyawan soal CBHRM tempo dulu, kini harus pasang kuda-kuda lagi, berarti pasti akan ada pekerjaan lebih besar dan urgent yang banyak menguras waktu dan enerji. Semua enerji akan tercurah untuk membela karyawan seperti membela perusahaan pada saat perjuangan KA SLJJ tempo dulu. Tak heran jika SEKAR DPW-V dalam setiap kali pertemuannya dengan para pengurus DPD bersikap “Wait and See”, sebab memang tidak dilibatkan dalam penyusunan organisasi baru yang belum tahu pasti kapan bakal diluncurkan. Karena kebijakan ini “Given” begitu saja, maka SEKAR DPW-V hanya berprinsip, bahwa kalau menguntungkan karyawan, maka “Please Go!”, jika sebaliknya, alias merugikan, maka “Don’t Go !”.
REVOLUSI.
Seorang teman mengatakan, bahwa perubahan struktur organisasi yang dilakukan secara menyeluruh (total) ini namanya Revolusi, kalau hanya sebagian saja namanya Evolusi yang hanya merevitalisasi pada fungsi-fungsi tertentu saja yang dianggap tidak memberikan kontribusi significant. Dampak Revolusi ini akan sangat luar biasa bagi karyawan yang masih trauma. Yang menjadi pertanyaan ialah, apakah dampak ini sudah dipikirkan secara detil oleh manejemen ? Sebab dampak akan terjadi terhadap kinerja (under performance), juga akan berdampak kepada Customer.
Ada beberapa karyawan yang pasrah, sebagian lagi memilih PENDI, yang lain lagi ada semacam resistansi karena trauma. Artinya, bahwa rencana Revolusi ini tak banyak dimengerti oleh karyawan yang akhirnya mereka pada pesimis. Pendapat boleh beda, persepsi harus sama. Tak perlu diragukan lagi, bahwa seluruh karyawan mahfum dan sepakat, bahwa perubahan adalah penting, ini menunjukkan, bahwa persepsi mereka sudah sama, tetapi perubahan yang mana dulu ? Inilah salah satu wujud, bahwa pendapat yang boleh berbeda satu dengan yang lain. Kalau perubahan itu menguntungkan seperti sikap SEKAR, maka yakin karyawan tak akan menolak perubahan.
Karyawan berpendapat, bahwa kita oke saja diajak lari kencang menggapai target sampai “door to door” sekalipun, asal janganlah mengusik keamanan kami dalam bekerja atau mengabdi secara loyal kepada perusahaan. Ini menunjukkan, bahwa karyawan yang sudah loyal, kemudian diusik menjadi tidak loyal lagi, demotivasi, under performance, dsb, ujungnya ialah perusahaan juga akan goncang. Kemudian ada lagi karyawan yang berkomentar :”Kenapa TELKOM selama ini hanya berkutat di struktur saja, kok bukan memantapkan strategi persaingan?” Yang kena korban ya karyawan lagi, yang nota bene semangat kerjanya cukup tinggi !!!. Jangan sampai ada “Job Insecurity”, yaitu suatu gejala psikologis yang berkaitan dengan persepsi para karyawan terhadap masa depan mereka di tempat kerja yang penuh ketidakpastian, timbullah perasaan cemas. Kalau dulu SEKAR dicap ‘ALERGI KOMPETISI’, jangan-jangan sekarang karyawan akan dicap ‘ALERGI PERUBAHAN’, padahal tak seperti itu. Setiap perubahan yang baik, pasti akan diterima oleh seluruh karyawan. Identik dengan apabila Presiden RI mengadakan perubahan yang berdampak peningkatan kesejahteraan rakyat, maka rakyat pasti mendukung.
Idealnya memang Direksi dan SEKAR duduk bersama membicarakan dan menentukan langkah prioritas. Untuk pelaksanaan teknisnya, Direksilah yang berkewajiban untuk untuk menterjemahkan dan mensosialisasikannya. Dengan kata lain, restrukturisasi perusahaan sebetulnya tergantung pada Direksi. Sejauh mana kesadaran mereka akan perubahan lingkungan usaha demikian cepat yang mempengaruhi perusahaan. Jadi yang pertama kali dibutuhkan adalah komitmen dari Direksi dalam rencana restrukturisasi ini, alasan dan tujuan restrukturisasi itu harus jelas, dimengerti oleh karyawan yang sudah terlanjur trauma.
Di dalam membaca sinyal perubahan, perusahaan hendaknya melihat seluruh aspek dengan penekanan pada faktor sumber daya manusia. Manakala hal ini tidak dilakukan, maka pesaing akan gampang ‘memakan’, dan impian “to be the winner” akan punah. Perusahaan yang memfokuskan diri dan terbelenggu secara sempit pada bahasa dan pemikiran ekonomi belaka akan sangat bahaya.
Manajemen hendaknya jangan hanya memfokuskan diri pada aktivitas produksi dan jasa demi tercapainya keuntungan yang maksimal, tetapi melupakan esensi yang hakiki perusahaan sebagai komunitas manusia, bila ini terjadi, pertanda gagalnya membaca sinyal perubahan, gagal berkompetisi, gagal menjadi “The Winner”, sementara serangan kompetitor semakin gencar saja.
KETERBUKAAN.
Direksi harus berpikir keras untuk menjabarkan dan mensosialisasikan, sehingga karyawan bisa menangkap secara tepat program tersebut. Disini peran seorang pemimpin diuji untuk memotivasi semua orang dalam perusahaan ini. Jangan sampai restrukturisasi ini membuat semua jadi tak jelas, tak menentu (uncertainty). Harus memastikan kalau sudah direstrukturisasi, perusahaan ini akan jadi apa, tolok ukurnya apa, dsb. Lakukan program komunikasi dan mobilisasi komitmen secara transparan dan jujur. Kalau tidak, sasaran restruturisasi tidak akan tercapai, bahkan mungkin akan terjadi keresahan. Karyawan harus diyakinkan, bahwa tak akan ada rasionalisasi/PHK dan sejenisnya. Disini dibutuhkan keterbukaan/transparansi.
Sepanjang keterbukaan tidak ada, restrukturisasi akan sulit dilakukan, dan pemborosan belaka. Restrukturisasi bukanlah pekerjaan gampang, bahkan bisa membawa korban yang tidak sedikit. Karena itu dalam persiapannya perlu pemikiran yang mendalam, termasuk mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi. Jangan sampai hanya dengan semboyan ‘perubahan/restrukturisasi’ justru akan memperburuk keadaan jangka pendek maupun jangka panjang. Jangan sampai restrukturisasi hanya bersifat ‘lipstik’ perubahan yang tidak substansial dan fundamental. Jangan sampai ‘perubahan’ dianggap sebagai ‘trend’ saja. Perusahaan ini harus menemukan jati dirinya sendiri, jangan meniru-niru gaya Jepang, Gaya Eropa, gaya Amerika, gaya “GE” yang dikomandoi oleh Jach Welch, dan gaya-gaya yang lainnya, yang belum tentu cocok dengan budaya kita. Kalau mengadop gaya perusahaan “X” hanya sebagian kecil yang cocok saja mungkin masih acceptable.
DRIVING FORCE.
SDM atau Human Resources atau Human Assets sebagai “Driving Force” perusahaan yang bernilai strategis, harus mendapat perhatian utama dan pertama dalam pertimbangan melakukan restrukturisasi, jadi memang harus super hati-hati tak boleh mengatakan :”Apa kata nanti sajalah, yang penting restrukturisasi ini jalan dulu”. Ini sangat berbahaya, sebab masalah SDM memiliki sensitivitas yang sangat tinggi.
Disini Paradigm Shift kita diuji, bahwa semakin sedikit karyawan akan semakin kompetitif. Itu berarti meningkatkan daya saing. Padahal pola pemikiran ini (kalau ada) seperti mengorbankan sekolah anak hanya untuk bisa makan tiga kali sehari. Sebuah konsep yang amat berbahaya. Jadi restrukturisasi harus pada arah yang tepat tidak coba-coba, arah pemikiran harus jelas. Restrukturisasi yang radikal tidak cocok dengan budaya perusahaan yang menekankan pada keselarasan dan keharmonisan. Pilihlah strategic initiatives yang membumi.
Sebelum restrukturisasi organisasi ini diluncurkan, sebaiknya pada setiap tahapan langkah dikaji kembali apakah perusahaan sudah ‘face the fact’, bahwa perusahaan akan tumbuh setelah ditransformasi ke ‘New Organization’. Apakah yang ‘out of position’ sudah yakin tertampung, yang ini semua harus disimulasikan secara mendetail hingga titik kritis mulai dari tingkat Corporate, DIVRE, DATEL dan CATEL, memang butuh kerja ekstra keras, sebuah konsekwensi revolusi khan ???
TESTIMONIAL.
Mengutip testimonial di http://intra.telkom.co.id/transformasi/indek.asp yaitu “Saat itu, pilihan France Telecom adalah segera bertransformasi atau mati. Saat ini TELKOM masih market leader di Indonesia, belum ada kondisi “hidup-mati” seperti yang dialami France Telecom di tahun 2002. Ada kondisi yang lebih “longgar” bagi TELKOM untuk menyelesaikan transformasi pada saat ini. Benar ada kebijakan pertumbuhan SDM minus 6%, tapi kebijakan itu ditempuh dengan golden shakehand dan bukan PHK”.
”Posisi market leader ini memungkinkan TELKOM melakukan perubahan secara gradual, tidak perlu drastis. Dengan begitu diharapkan, goncangan yang mungkin terjadi tidak terlalu merisaukan. Transformasi TELKOM dirancang untuk periode 2003-2010, sementara NExT France Telecom berlaku untuk periode 2006-2008. Jadi, apa yang akan terjadi pada France Telecom dan TELKOM nanti? Jawabannya tergantung pada apa yang dilakukan oleh seluruh elemen organisasi sejak hari ini !!”. Kalau perubahan tidak terlalu drastis, ini namanya bukan Revolusi !
• NURSIDIK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar