TAHUN 2006
Forum Dialog Dalam Perusahaan Harus Optimal
PENGANTAR.
Tulisan ini adalah terinspirasi oleh akan terjadinya demo besar di kota Surabaya, dimana diperkirakan ada puluhan ribu buruh pabrik akan turun ke jalan pada hari Senin (16/1). Pagi-pagi sekali para petugas LANTAS pada sibuk mengatur arus untuk antisipasi kemacetan. Radio “Suara Mitra” FM mengudarakan hal tersebut, sehingga pada pengguna jalan juga sudah mengantisipasinya menelusuri jalur- jalur aman. Tak tanggung-tanggung polisi bakal menerjunkan 3.500 personelnya ditambah dengan satu SSK dari TNI-AL dan TNI-AD on call.
Maraknya unjuk rasa kaum pekerja, buruh dan karyawan semakin marak saja. Mulai dari puluhan, ratusan, bahkan ribuan pekerja turun ke jalan sebagai “DPR Jalanan” untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutannya. Kerap kali aksi para pengunjuk rasa ini memacetkan lalu lintas yang membuat kelabakan para petugas LANTAS termasuk pengguna jalan umum, sehingga mengurangi kenyamanan, apalagi jika dilakukan ditengah teriknya matahari, udara menyengat, asap knalpotpun menyesakkan pernafasan.
Beberapa pakar mengomentari aksi-aksi ini dan menilai, bahwa jika forum dialog internal antara Pengusaha, Manajemen atau Majikan dengan para Pekerja, Buruh atau Karyawan dilakukan secara optimal, maka aksi turun jalan ini dapat dieliminir. Setiap kebijakan perusahaan yang menyangkut atau berdampak, baik langsung atau tidak langsung terhadap karyawan, maka selayaknyalah mengajak perwakilan karyawan duduk bersama untuk dialog atau musyawarah. Manakala dialog internal ini dilakukan secara maksimal dan optimal, maka aksi-aksi tersebut otomatis akan tidak ada. Musyawarah dan mufakat menjadi semakin penting didalam hubungan industrial ini.
Hal inilah yang sering dilupakan oleh beberapa perusahaan terhadap karyawannya yang nota bene adalah sebagai tenaga penggerak dalam memajukan perusahaan ditengah era persaingan yang semakin ganas belakangan ini. Bukankah yang mengawal program-program strategic perusahaan adalah seluruh karyawan, bukan orang lain ? Dengan dialog, maka akan terjadi sinerji yang memang sangat diharapkan sesuai dengan Perjanjian Kerja Bersama yang telah disepakati. Apabila terjadi pengingkaran sepihak terhadap Perjanjian ini, maka otomatis akan terjadi friksi dalam perusahaan yang tentu membawa berdampak. Terutama buruh pabrik yang memang selama ini sering melakukan aksi demo turun jalan yang membawa dampak, juga sering diakibatkan oleh hal tersebut diatas.
Mungkin masih segar dalam ingatan kita dimana ratusan Kades se Indonesia beberapa waktu lalu turun ke Ibukota. Mereka menuntut kepada pemerintah, agar status pegawai negeri mereka ditetapkan, tidak ngambang selama bertahun-tahun. Kita masih ingat juga bahwa guru, dosen, bahkan wartawanpun pernah melakukan aksi demo juga yang mewarnai sejumlah media. Ini menunjukkan, bahwa demo bukan monopoli kaum buruh saja. Jika sebelumnya terjadi dialog atau komunikasi internal dengan jalur komunikasi yang solutif, maka mustahil terjadi gejolak yang tak diinginkan.
Misalnya ada kebijakan efisiensi, maka perusahaan harus benar-benar peduli dan selalu memperhatikan terhadap berbagai hal yang tentunya bersifat
kemanusiaan (SDM) dan dampaknya terhadap tujuan peningkatan efisiensi itu sendiri. Harus dijelaskan pula bagaimana “scenario plan” tumbuh dan berkembangnya. Jadi masalah efisiensi ini memang penting, tetapi bukan berarti ia mampu menjustified untuk melakukan segala cara.
Kalau karyawan sudah yakin, bahwa perusahaan harus berjalan sesuai dengan ‘road map’ atau ‘track’ yang benar, maka karyawan pasti akan mengawal agar perusahaan mampu tumbuh dan berkembang di tengah persaingan, dimana para pesaing sudah mengepung dan melakukan serangan mulai dari kota sampai ke daerah-daerah. Tidak ada ruginya berkomunikasi dan berdialog dengan karyawan secara sinerji, terjadwal dan tidak “angin-anginan” saja, malah hal ini bisa merupakan ‘value’ tersendiri, atau katakanlah sebuah “Value Creation”. Tanpa komunikasi yang baik, maka akan terjadi “bom waktu”.
Manakala ada masalah-masalah strategis, maka penggelaran forum dialog dengan perwakilan karyawan sudah menjadi kebutuhan bagi setiap perusahaan dalam hubungan industrial. Bukankah untuk mendongkrak “business performance” perlu keterlibatan semua unsur organisasi. “Sustainable Growth” tidak dapat dilakukan dengan baik, bila tak dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan segenap elemen organisasi dalam perusahaan. Manajemen harus mampu menjawab keinginan para ‘manusia’ agar perusahaan benar-benar menjadi perusahaan fit, sehat dan lincah serta mampu bersaing. Apalagi kalau itu adalah sebuah perusahaani bisnis dan bersifat komersial yang mengutamakan kepuasan pelanggan.
Memang, dengan berkembangnya industrialisasi dan merebaknya berbagai macam permasalahan hubungan Industrial, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang no.2 /2004 sebagai dasar hukum untuk menyelesaikan masalah hubungan industrial. Undang-undang ini mencabut Undang-undang sebelumnya yaitu Undang-undang nomor : 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-undang nomor : 12 tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di perusahaan swasta. Undang-undang nomor : 2 / 2004 berlaku untuk semua perusahaan baik milik swasta maupun pemerintah.
Kita melihat kenyataan, bahwa pada era industrialisasi dewasa ini, perselisihan hubungan industrial semakin kompleks sehingga perlu Undang-undang yang mengatur tata cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial secara komprehensif yang memang sudah ada aturannya.
Jenis-jenis perselisihan yang dimuat dalam undang-undang meliputi 4 hal yaitu Perselisihan Hak, Perselisihan Kepentingan, Perselisihan PHK dan Perselisihan antar Serikat Pekerja/ Serikat Buruh. Beberapa pilihan penyelesaian yang dapat ditempuh yaitu Perundingan Bipartit, Mediasi Hubungan Industrial, Konsiliasi, Arbitrase dan Pangadilan Hubungan Industrial (PHI). Namun demikian penyelesaian lewat Perundingan Bipartit lebih diutamakan sebelum diselesaikan melalui cara lain.
• NURSIDIK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar